Jumat, 30 November 2018

OPINI


ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
DI SEKOLAH KONVENSIONAL
( opini)

       Undang-Undang menjamin setiap warga negara untuk mendapatkan pelayanan pendidikan, bahkan setiap warga negara wajib belajar. Konsekuensinya negara menyediakan fasilitas belajar baik sekolah-sekolah konvensional maupun sekolah khusus (luar biasa). Untuk melayani pendidikan tersebut pihak swasta juga ikut berkontribusi dengan mendirikan sekolah-sekolah. Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, kita mengenal tokoh-tokoh seperti Ki Hajar Dewantara yang terkenal dengan Perguruan Taman Siswa, KH. Ahmad Dahlan, beliau membuka cakrawala pendidikan (Islam) di Indonesia, R.A Kartini dengan memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan pada jamannya, RA.Dewi Sartika, beliau mendirikan sekolah untuk perempuan meskipun saat itu (sebelum kemerdekaan) banyak ditentang dianggap bertentangan dengan adat. Kita juga mengenal tokoh-tokoh pendidikan seperti : Sandiah Kasur atau dikenal dengan Ibu Kasur, seniman dan tokoh pendidikan; Seto Mulyadi atau Kak Seto, ia seorang pakar psikologi anak; YB. Mangun Wijaya, seorang Imam sekaligus seoang Arsitek, beliau sangat prihatin dengan pendidikan di Indonesia oleh karena itu Ia mendirikan Yayasan Dinamika Edukasi Dasar. Beliau berujar “ Biarlah pendidikan tinggi brengsek dan awut-awutan. Namun, kita tidak boleh menelantarkan pendidikan dasar”.
   Dari latarbelakang usaha pendidikan seperti yang telah dilakukan oleh para tokoh menurut jamannya, anak-anak berkebutuhan khusus pun perlu mendapatkan pendidikan. Disebut berkebutuhan khusus, karena memang mereka butuh penanganan istimewa. Mereka itu dapat dikategorikan sebagai anak yang mengalami keterbatasan atau keluarbiasaan, baik fisik, mental intelektuan maupun sosial yang berpengaruh secara signifikan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan dibanding dengan anak-anak lain seusianya. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang secara pendidikan memerlukan layanan yang spesifik yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Banyak variasi untuk menyebut anak-anak berkebutuhan khusus seperti disability, impairment dan handicap. Menurut kajian ilmiah, penyebab penyebab kondisi keluarbiasaan tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
Sebelum kelahiran atau pre-natal, pertama infeksi kehamilan yang disebabkan oleh virus Liptospirosis yang beasal dari air kencing tikus, virus maternal rubella. Kedua gangguan genetika, terjadi akibat kelainan kromosom, transformasi yang menyebabkan keracunan darah dan faktor keturunan. Kegita usia ibu hamil yang beresiko yaitu terlalu muda (12-15) atau terlalu tua (diatas 40). Selanjutnya karena keracunan saat hamil, penyakit menahun seperti TBC, infeksi karena penyakit kotor, pengalaman traumatik yang menimpa ibu hamil, toxoplasmosis(berasal dari virur binatang seperti ulu kucing dan sebagainya.
Pada saat proses kelahiran atau peri-natal. Misalnya proses kelahiran lama, prematur, kekurangan ogsigen, kelahiran dengan alat bantu, pendarahan, kelahiran sungsang, tulang ibu yang tidak proporsional.
Terjadi setelah anak dilahirkan ( pasca-natal). Ini dapat terjadi karena keracunan, kecelakaan, tumor otak, kejang, diare semasa bayi, infeksi bakteri, kekurangan zat makanan.
Dari hal-hal di atas dimungkinkan anak mengalami keluarbiasaan baik fisik, mental emosioanal maupun sosial. Bagaimana pun keadaannya anak-anak harus mendapatkan layanan pendidikan, mereka harus dibanntu dalam perkembangannya agar menjadi orang dewasa melalui pendidikan. Memang pemerintah telah mengusahakan anak-anak berkebutuhan khusus ini untuk sekolah di PLB, yaitu pendidikan Luar Biasa. Di samping itu sekarang banyak dari lembaga swasta atau perorangan membantu menangani naka-anak yang berkebutuhan khusus ini agar bisa mengikuti pendidikan di sekolah konvensional. Karena keterbatasan pengetahuan, atau malu dan beban psikologis, kadang orangtua enggan berkonsultasi mengenai anaknya yang memiliki gejala luar biasa dan cenderung memasuknan anaknya ke sekolah umum atau konvensional yang diperuntukkan bagi anak-anak normal. Pertanyaannya adalah :
1    Apakah para Guru sudah siap untuk melayani anak-anak berkebutuhan khusus ini bersama-sama dengan anak-anak normal?
2     Apakah orang tua pada umumnya tidak khawatir pendidikan anak-anaknya terganggu ?
Dari dua pertanyaan tersebut di atas, penulis ingin mencoba membangun opini. Sebagai orang yang cukup lama berkecimpung dalam pendidikan formal. Pernah sebagai guru SD, SMP dan yang lama di SMA. Keadaannya berbeda, namun dialami beberapa hal yang sama yaitu timbul permasalahan dalam pengelolaan kelas ketika ada dua atau lebih siswa yang berakarakter istimewa, penulis tidak berani menyebut luar biasa. Dengan pendekatan individual dapat dilakukan jika perbedaannya tidak menyolok, artinya ada karakter luar biasa tetapi masih bisa diatasi. Oleh sebab itu Guru perlu tahu latar belakang atau riwayat pedidikan anak sebelumnya. Ada beberapa opini atau pendapat yang dapat disheringkan sebagai berikut :
1    Terutama Sekolah (Para pendidik) perlu memahami batas-batas keluarbiasaan anak-anak sejauh mana yang dapat diterima di sekolah konvensional. Hal ini perlu berkonsultasi dengan para ahli psikologi dan para pakar pendidikan luar biasa. Bila perlu harus bekerja sama dengan Dinas Pendidikan yang menangani SLB sebagai pendampingan. Lain halnya jika memang direncanakan untuk Sekolah Inklusi, semua harus dipersiapkan dengan perencanaan yang baik, sarana dan prasarananya. Juga ada training terhadap guru. Ini memang dapat menarik bagi masyarakat. Sekolah yang ramah terhadap penyandang disabilitas di Indonesia masih perlu diperjuangkan, di sisi yang lain para Guru tidak banyak dibekali untuk menangani anak-anak yang berkebutuhan khusus. 
2   Orangtua calon siswa juga harus mengetahui dengan pasti kondisi putra-putrinya, harus ada perhatian. Jika memang putra-putrinya memerlukan kebutuhan khusus perlu dipertimbangkan jika mau memilih sekolah. Jika orangtua sudah mengetahui sebelumnya bahwa anaknya berkebutuhan khusus atau luar biasa maka sebaiknya konsultasi kepada ahli. Tidak boleh sakit hati jika ditolak di suatu sekolah karena memang sekolah tersebut tidak sanggup melayani karena keterbatasan sarana dan prasarana.
Jika mau dirintis Sekolah Inklusi, harus dipersiapkan dengan baik jika perlu mencari Konsultan Pendidikan, workshof bertema pendidikan inklusi atau jika perlu studi banding di sekolah yang sudah melaksanakan pendidikan inklusi.
          Menyambut anjuran Bapak Menteri Sosial bahwa Indonesia harus ramah disabilitas, memang baik jika lembaga yang mengelola pendidikan mulai memikirkan hal ini. Kita harus bangun opini bahwa saudara kita yang menyandang keterbatasan perlu “diuwongke”, artinya perlu diakui martabatnya bahwa mereka juga mempunyai kelebihan yang mungkin tidak dimiliki oleh orang-orang yang normal secara fisik. Mereka yang menyandang disabilitas ternyata banyak memberikan kontribusi dalam pembangunan jika dikaryakan. Masalahnya kadang perusahaan tidak mau repot dan takut produksinya terhambat. Semoga opini ini dapat memberi inspirasi bagi para penyelenggara pendidikan atau minimal bagi pemerhati pendidikan maupun para guru dan orangtua.


Kamis, 30 Agustus 2018

STOP BULLYING DI SEKOLAH

STOP BULLYING DI SEKOLAH

Bullying
Bullying adalah salah satu bentuk dari perilaku agresi dengan kekuatan dominan pada perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang dengan tujuan mengganggu anak lain atau korban yang lebih lemah darinya.Bullying terjadi jika seseorang atau sekelompok orang mengganggu atau mengancam keselamatan dan kesehatan seseorang baik secara fisik maupun psokologis,  Dari pengertian tersebut tindakan 'membuli' tidak dapat dibenarkan baik secara moral, sosial  dan pendidikan. Ada beberapa bentuk bullying baik yang disadari maupun yang kurang disadari, yaitu bullying fisik, bullying psikologis dan bulliying verbal. Kurang disadari oleh si pelaku, karena mungkin dianggap bergurau saja. Tetapi bergurau saja kalau diulang-ulang dapat menimbulkan rasa sakit bagi orang lain yang menjadi kurban. Misalnya menyebar gosip, bergurau yang menyinggung perasaan, mengolok-olok. Contoh tersebut secara psikologis sudah termasuk bullying.  Berbeda dengan bullying fisik. Bulyying fisik nampak jelas , fisik yang sakit; misalnya memukul, menjegal, mendorong, meninju, menghancurkan barang orang lain, mengancam secara fisik, memelototi. Kurban bullying dirugikan secara fisik. Hampir sama dengan bullying psikologi adalah bullying verbal, ini dilakukan dengan mengeluarkan kata-kata yang kasar yang membuat perasaan kurban sakit, misalnya menghina, menyindir, meneriaki dengan kasar, memanggil dengan julukan, keluarga, kecacatan, dan ketidakmampuan. Contoh seorang guru yang marah besar terhadap siswanya, sampai-sampai siswa merasa diintimidasi dan  menderita takut. Secara fisik kurban tidak sakit tetapi secara mental dilemahkan, apalagi dilakukan oleh seserang yang menjadi panutan, misalnya atasan terhadap bawahan, guru terhadap muridnya. Dalam psikologi ada hubungan antara jwa dan badan atau spikofisik, tidak jarang bullying verbal maupun bullying spikologis dapat menyebabkan sakit fisik.

Sekolah.
Sekolah adalah lembaga formal dimana didalamnya terdapat warga sekolah yang melakukan interaksi edukasi. Merupakan tempat transfer dan pengembangan ilmu pengetahuan dari guru kepada murid. Sekolah merupakan tempat belajar kelompok orang yang belum dewasa dibawah bimbingan orang-orang dewasa yang memiliki kualifikasi bidang pendidikan. Paradigma lama mengatakan bahwa sekolah adalah tempat 'berguru' karena guru dipadang sebagai orang yang menguasai sejumlah ilmu yang dapat ditransfer kepada murid. Dan yang lebih riil lagi sekolah adalah tempat dimana terjadi interaksi yakni proses pengajaran dan proses pendidikan. Di sini Guru menjadi sosok atau tokoh panutan, tokoh yang harus diteladani dan dihormati. Hormat bukan karena takut, tetapi karena jasan dan pelayanannya. Guru adalah golongan sosial terhormat.

Stop Bullying Di Sekolah.
Sekolah adalah tempat kedua bagi anak-anak setelah keluarga, oleh karena itu sudah seharusnya jika sekolah sebagai lingkungan yang aman, nyaman, damai dan menyenangkan bagi peserta didik maupun bagi warga sekolah yang lain, maka segala bentuk yang termasuk bullying harus tidak ada di lingkungan sekolah. baik itu dilakuan antar siswa atau Guru terhadap siswa  atau pun Guru terhadao Guru. Semua pihak harus sadar dan paham, hentikan segala bentuk kekerasanba secara fisik, emosional/ psikologis, maupun sosial. Saatnya kita stop bullying di sekolah. Orang tua seyogyanya mengetahui apa yang terjadi di sekolah jika ada tanda-tanda putranya mengalami bullying.



Jumat, 07 Oktober 2016

Baru Ingat Kembali

Lama setelah tidak mengajar kurang lebih 4 tahun yang lalu, tidak pernah membuka blog. Blog yang dulu dibuat sangat sederhana untuk sarana pembelajaran. Kini blog saya terbengkelai tidak pernah disentuh. Hari ini teringat kembali "kangen" dengan blog saya. Saya telusuri lagi karena namanya pun sudah tidak ingat. Beruntung Blogger meberitahu karena memang sekali dibuat masih ada kalau tidak dihapus.
Dahulu masih jarang guru-guru menggunakan blog untuk pembelajaran, sekarang dianjurkan bahkan lewat pelatihan "Guru Pembelajar" Ok umur tidak menghalangi untuk melek teknologi.

Selasa, 01 September 2015

Guru dan Perangkat Pembelajaran

Menjawab panggilan profesi sebagai seorang Guru, pada zaman awal-awal kemerdekaan sampai dengan zaman Orde Baru sungguh sangat berbeda. Menjadi Guru pada zaman itu tidaklah terlalu banyak tuntutan, baik dari segi pendidikan maupun perangkat yang harus dipersiapkan. Untuk mengajar di Sekolah Dasar yang terpenting ada kemauan lulusan Guru bantu pun jadi. Makin lama tuntutan itu makin tinggi, Guru harus minimal lulusan SGA (Sekolah Guru Atas), ditingkatkan lagi untuk mengajar di SD harus lulusan SPG (Sekolah Pendidikan Guru). Begitu saja profesi Guru sangat dihormati di masyarakat, Guru dipandang sebagai orang yang serba bisa, maka banyak hal yang tidak jarang ditanyakan kepada Guru, walaupun bukan bidangnya. Guru sungguh menjadi sosok yang patut digugu dan ditiru, yaitu dipercaya kata-katanya dan dicontoh perilakunya.
Dunia semakin bertambah maju, tuntutan masyarakat pun semakin banyak, profesi-profesi lain semakin berkembang dan memberikan janji kesejahteraan hidup yang lebih tinggi. Oleh sebab itu profesi Guru semakin ditinggalkan oleh golongan masyarakat tertentu, tentu saja masyarakat yang berorientasi pada ekonomi semata. Anak-anak muda yang pandai cenderung enggan memilih menjadi Guru, mereka akan memilih profesi lain yang menjanjikan, begitu juga anak-anak golongan ekonomi atas. Sempat sekolah guru hanya diminati oleh orang-orang yang secara ekonomi menengah kebawah dan orang-orang desa umumnya masih memandang Guru sebagai status sosial yang terhormat.
Lain dulu lain sekarang, status Guru ditingkatkan hampir sejajar dengan profesi lain, maka Guru diwajibkan memiliki Sertifikat Pendidik. Zaman Guru bersertifikasi, Pemerintah sungguh memberi perhatian terhadap profesi Guru, tetapi dengan persyaratan tertentu. Menjadi Guru baik di tingkat pendidikan dasar maupun di tingkat pendidikan Menengah minimal harus lulusan Sarjana Strata 1 (S1). Guru juga dituntut memenuhi standar kompetensi. Ada empat kompetensi yang disyaratkan yaitu  Kompetensi Pedagogik, Kompetensi Profesional, Kompetensi Sosial dan Kompetensi Kepribadian. Setelah memenuhi  empat kompetensi tersebut barulah Guru boleh menyandang "gelar" profesional.
Seiring dan sejalan dengan meningkatnya kualitas Guru meningkat pula kesejahteraannya, karena para Guru mendapat tunjangan profesi. Pertanyaannya apakah benar meningkatnya apresiasi pemerintah dengan memberi tunjangan profesi ini dibarengi dengan meningkatnya mutu Guru ?
Jawabnya kita lihat, ketika Guru disupervisi oleh atasannya agar menyiapkan perangkat pemeblajaran, sering hanya dijawab dengan formalitas, yang penting ada. Yang terjadi copy paste sana sini tanpa dilihat apakah isinya relevan atau tidak. Belum ada data berapa persen Guru yang belum siap dengan perangkat pembelajarannya. Perangkat adalah sarana atau alat yang harus dimiliki agar dapat bekerja dengan baik. Pekerjaan apa saja dibutuhkan perencanaan. Sutradara film membuat skenario, seorang pelaksana proyek bangunan memiliki gambar arsitektur. Guru harus membuat RPP, memiliki kalender pendidikan, membuat pekan efektif, membuat analisis hasil belajar siswanya, dan masih banyak lagi perangkat yang harus disiapkan agar Guru semakin profesional. Guru dan perangkat pembelajaran seperti dua hal yang tak terpisahkan, seperti petani juga memiliki alat pertanian, memiliki ilmu bertani dan sebagainya.
Mari para Guru kita tingkatkan kinerjanya, demi masa depan anak-anak bangsa ini agar mereka memiliki masa depan yang cerah. Bekerjalah secara profesional, Guru adalah orang-orang yang dipilih oleh Tuhan untuk melayani, karena itu kerja adalah anugerah, dan kerja adalah aktualisasi diri sebagai seorang yang diutus untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat.

Kamis, 17 Juli 2014

MEMBANGUN KARAKTER BANGSA


T
erlalu lama bangsa ini berada dalam cengkeraman penjajah, secara fisik tenaga terkuras habis dan secara psikologis jiwanya tertekan. Keadaan ini disadari atau tidak berpengaruh besar terhadap mental, sifat dan sikap seseorang. Sikap mental yang selalu menunggu perintah, kurang ada inisiatif, kurang disiplin, kurang kreatif dan pasrah pada nasib. Mereka berpandangan bahwa hidup ini adalah takdir. Karakter bangsa yang denmikian bertentangan dengan semangat  modernisasi untuk menuju masyarakat yang maju, bermoral dan berdaya saing dengan bangsa-bangsa lain mapan. Inilah perlunya pembangunan karakter melalui peran serta pendidikan, baik secara informal, formal maupun non formal, berarti adanya keterlibatan orang tua, guru maupun masyarakat.

Karakter, tabiat atau watak berkaitan erat dengan sifat dan sikap seseorang. Heraclitus menyebutnya karakter adalah takdir, seperti diungkapkan oleh  Thomas Paine, karakter adalah apa yang diketahui oleh Tuhan dan malaekat tentang diri kita. Febe Chen (penulis buku “Menjadi Pribadi Unggul”) menuliskan bahwa karakter manusia merupakan gabungan dari kebiasaan-kebiasaan. Apabila usaha yang dilakukan positif dan selalu berulang, orang itu telah mengembangakan sikap unggul. Keunggulan bisa diperoleh dari kebiasaan untuk mencapai kesuksesan tertinggi yang mampu diraih. Dari sudut pandang psikologi karakter seseorang berhubungan dengan temperamen. Temperamen bersifat bawaan (kodati), sedangkan karakter dipengaruhi oleh sifat bawaan (instrisik) dan lingkungan(ekstrinsik), oleh sebab itu karakter dapat dipengaruhi atau dibentuk. Untuk membentuk karakter bangsa yang sangat majemuk atau multikultural seperti masyarakat Indonesia diperlukan pendekatan secara holistik. Mencari dan menemukan nilai-nilai nama yang berlaku universal, yang tidak bertentangan dengan nilai budaya dari masing-masing masyarakat dan memiliki keunggulan secara nasional, sehingga kita dapat menentukan karakter bangsa yang seperti apa yang diidamkan atau dianggap ideal dan harus dibangun ?
Para pendiri bangsa ini telah memikirkan lebih jauh tentang karakter bangsa ini yaitu menjadikan bangsa yang cerdas, bangsa yang memiliki kepribadian kuat dan beriman serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bangsa yang menjunjungtinggi harkat dan martabat kemanusiaan, bersatu, gotong royong dan berkeadilan. Bangsa yang arif dan bijaksana selalu mengedepankan musyawarah untuk mufakat. Bahkan dari sejak dini di Taman Kanak-kanak atau di Sekolah Dasar anak sudah dikenalkan bahwa sifat bangsa Indonsia adalah bangsa yang ramah tamah, santun dan tekun beribadah. Di daerah-daerah diciptakan seni budaya misalnya dalam bentuk tarian khusus untuk menyambut tamu terhormat. Karakter lain yang harus dimiliki bangsa modern adalah berdisiplin tinggi yang muncul dari dalam diri seseorang bukan karena faktor luar, cinta tanah air (nasionalisme), mengedepankan kepentingan bangsa.
Sungguh sangat ironis apa yang telah dan sedang terjadi dalam masyarakat kita, seolah bangsa ini porak poranda, dilanda kisis.  Krisis moral, nilai-nilai moral telah tergerus oleh arus jaman, masyarakat hampir kehilangan arah mana yang benar mana yang salah, mana yang boleh mana yang tidak boleh, tahu kalau salah langkah tetapi tetap terus berjalan. Korupsi, kriminal, main hakim sendiri, tawuran antar siswa, premanisme, pembunuhan sadis, penyekapan dan perdagangan manusia hampir tiap hari menghiasi media massa.  Akankah bangsa ini hancur ? Mungkin, jika tidak lekas diperbaiki. Untuk memperbaiki perlu tindakan tegas. Langkah preventif juga harus dilakukan, dan yang paling trategis adalah melalui pendidikan baik pendidikan informal, pendidikan formal maupun pendidikan non formal yang diselenggarakan masyarakat. Berikut ini penulis ingin mencoba menawarkan solusi yakni bagaimana peran pendidikan dalam membentuk karakter bangsa terutama dalam menghadapi arus globalisasi yang sering berdampak  negatif jika kurang hati-hati, tetapi menutup diri dari arus globalisasi dan  modernisasi juga akan menghambat perkembangan dan kemajuan.
Pertama : Peran Pendidikan Keluarga
Pendidikan yang pertama dan utama ada di dalam keluarga. Pertama, karena anak pertama kali berinteraksi di dalam keluarga. Mulai mengenal Ibu, Ayah serta anggota keluarga lain  dan terus berkembang mengenal lingkungan yang lebih luas. Berkeluarga merupakan panggilan mulia bagi seorang priya dan seorang wanita dewasa, mereka sepakat untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan yang sah. Perkawinan adalah sakral karema melibatkan Allah Sang Maha Pencipta menggunakan keluarga sebagai sarana penciptaan manusia baru yang harus dirawat, dibesarkan dan dididik. Lahirnya seorang anak dalam keluarga merupakan anugerah besar dari Allah dalam ungkapan “anak adalah titipan Allah”.  Manusia dapat merencakanan tetapi Tuhan yang menentukan.
Peran keluarga sangat besar dalam menjaga tumbuh dan berkembangnya anak baik secara  fisik maupun rohani atau mentalitas. Anak kecil merupakan pribadi yang masih polos tetapi memiliki benih-benih yang ditaburkan oleh Allah sendiri yang berupa potensi (orang boleh menyebut dengan talenta) yang akan menjadi “aktus” jika mendapat kesempatan berkembang. Teori modern menyangkal bahwa anak itu bagaikan tabula rasa atau kertas putih yang akan menjadi apa terserah yang menulisi, atau botol kosong yang harus diisi, tetapi anak memiliki benih potensi yang akan tumbuh dan berkembang dengan bantuan orang dewasa. Disinilah peran keluarga untuk ikut ambil bagian dalam membentuk karakter. Orang tua mengenalkan nilai-nilai moral, nilai-nilai agama, nilai adat dan kebiasaan, sopan santun. Bagaikan tanaman kecil yang tumbuh tidak akan dibiarkan liar oleh pemiliknya, begitu juga anak-anak harus mendapat tuntunan yang benar dari orang tunya. Para orang tua diharapkan dapat menjadi contoh tauladan yang baik bagi anak-anaknya, karena yang pasti anak akan mulai belajar dengan meniru dan tidak jarang anak mengidolakan tingkah laku orang tuanya. Sering keahlian atau pepintaran orang tuanya menurun pada anak-anaknya, ini bukan berarti turunan secara biologis saja seperti yang pernah dipelajari oleh Mendel tetapi juga turunan secara sosiologis. Misalnya setiap kali anak melihat orang tuanya bersalaman, menghormati orang lain, berkata jujur maka anak akan meniru tanpa disuruh. Dengan demikian sebenarnya karakter anak telah terbentuk. Dengan demikian keluarga menjadi dasar utama dan pertama pembentukan karakter anak yang kelak akan berkembang menjadi pribadi unggul jika mendapatkan pengaruh positif dari lingkungannya yang baru dan lebih luas yakni di lingkungan pendidikan formal dan masyarakat.
Tanggung jawab pendidikan oleh orang tua tidak dapat digantikan peranya oleh siapapun. Yang terjadi karena orang tua sibuk bekerja sering pengasuhan dan pendidikan diserahkan kepada orang lain misalnya Baby Sister atau pembantu rumah tangga. Orang tua jarang bertemu anak-anak karena berangkat pagi sebelum anak-anak bangun dan pulang malam setelah anak-anak tidur. Dan anak lebih mengenal pembantu dari pada orang tuanya. Jika ini berlangsung lama maka pendidikan pasti kurang diperhatikan oleh pembantu akibatnya karakter anak tidak terbangun dengan baik, ini sering diketahui oleh Guru kelas setelah anak-anak masuk di sekolah. Pola dan cara mendidik oleh orang tua sangat berpengaruh terhadap sikap dan watak anak, misalnya orang tua yang mendidik dengan cara-cara kekerasan, suka menghukum, atau marah-marah terus dengan kata-kata kasar, anak akan terbiasa kasar dan nakal terhadap temannya. Orang tua tidak sadar bahwa ketika ketika berlaku kasar terhadap anaknya sebenarnya ia sedang membentuk karakter kasar kepada anaknya. Jika orang tua suka berbohong, anak juga sedang belajar berbohong. Dari sebuah riset dikatakan bahwa anak-anak nakal kebanyakan berasal dari keluarga yang tidak utuh, mungkin keluarga tidak harmonisi , orang tuanya bercerai atau broken home. Dari keluarga-keluarga yang dibangun atas dasar cinta kasih, dan mereka membina keharmonisan hubungan ini terus menerus akan menghasilkan pribadi-pribadi yang berkarakter. Pribadi yang berkarakter memiliki dorongan dari dalam dirinya sendiri untuk selalu mencari dan menemukan masa depannya sendiri, prinsip hidupnya sendiri dan akan meraih sukses. Pribadi-pribadi yang sukses mereka mampu melayani tanpa pamrih, lihat saja para pejuang kemanusiaan seperti Bunda Theresa dari Calkuta yang bekerja melayani orang-orang tersingkir, Jendral Sudirman berjuang untuk kemerdekaan sampai akhir hayatnya. Prinsip bekerja keras, belajar terus menerus sepanjang hayat, mandiri tidak menggantungkan pada orang lain , menghargai karya, berorientasi ke masa depan adalah beberapa contoh karakter yang lahir dan berkembang dalam lingkungan keluarga. Melalui cerita-cerita pendek dari sang Ibu sambil menidurkan anaknya, akan diingat sepanjang masa oleh anak dan memotivasi untuk berbuat seperti yang diperbuat oleh tokoh dalam cerita tersebut. Keluarga berdoa sebelum makan, bapak atau ibu berpamitan jika akan pergi,  berterimakasih ketika mendapat sesuatu dari orang lain, peduli antar anggota keluarga semua ini merupakan perbuatan praktis untuk membentuk karakter dalam lingkup keluarga. Jika semua keluarga melakukan hal demikian maka karakter bangsa akan terbentuk, karena sel-sel terkecil dari bangsa ini adalah keluarga.
Kedua : Peran Pendidikan Formal.
Hampir seluruh perkembangan masa anak-anak, remaja dan  dewasa awal (akil balig) bagi seseorang dihabiskan di sekolah. Katakan saja mulai anak usia empat tahun sampai dengan 23 tahun mereka belajar di sekolah. Di kota-kota besar mereka mulai memasukkan anak-anak ke play group yang dikelola layaknya penidikan formal untuk anak-anak pada usia dini. Memasukkan anak-anak dalam kelompok bermain memiliki nilai tambah bagi anak untuk belajar bersosialisasi sambil menyiapkan anak untuk masuk ke jenjang pendidikan dasar, namun tidak dipungkiri tidak sedikit orang tua justru membebani anak-anak usia dini ini dengan belajar menulis, membaca bahkan berhitung. Mereka bangga anak-anaknya sudah “pandai” sebelum masuk Sekolah Dasar, asal selalu ingat bahwa pada usia-usia tiga sampai 4 tahun adalah usia masa peka, pada saat inilah orang tua ataupengasuh paud harus tahu apa yang harusnya diperbuat agar karakter anak mulai terbentuk. Dalam Psikologi perkembangan anak dikatakan bahwa pada masa peka kemampuan otak untuk merekan rangsangan dari luar (faktor eksternal) sangat baik, rekaman-rekaman dalam otak akan membekas kuat dan bertahan lama sampai mereka dewasa kelak.
Aliran naturalis berpendapat bahwa pada dasarnya manusia dilahirkan dengan karakter yang baik, seperti Tuhan Allah menciptakan alam semeste semuanya baik adanya. Potensi yang baik ini tidak bertumbuh bahkan menjadi rusak karena lingkungan. JJ. Rouseau seorang yang menganut faham empirisme  berpen berpendapat berikan kenbebasan kepada anak secara alami, pengalaman anak akan menjadi guru yang baik. Agak bersebrangan dengan teori tabula rasa dari John Lock bahwa mau dijadikan hitam atau mau dijadikan putih anak-anak kelak terserah kepada orang tua atau guru. Para pendidik modrn lebih suka memadukan antara bakat dan lingkungan yang dikenal dengan teori konvergensi. Bakat pembawaan anak dapat berkembang maksimal jika diberikan lingkungan yang baik termasuk memberikan rangsangan yang baik agar respons anak baik, seperti percobaan Ivan Vavlop dari Rusia yang kemudian melahirkan teori belajar Stimulus-Respons.
Terlepas dari teori apa yang dikembangkan di sekolah, tugas sekolah sebagai institusi pendidikan adalah membantu orang tua, karena tidak semua peran dapat dilakukan sendiri oleh orang tua sebagai pedidik utama. Tentang banyaknya beria miring di masyarakat yang memojokkan dunia pendidikan karena ternyata terjadi banyak tindak korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum terdidik, kasus kriminal yang pelakunya adalah mahasiswa (alias orang terdidik), bahkan ada anak-anak yang masih duduk di bangku SD dan SMP sudah melakukan pemerkosaan, sungguh mencoreng institusi pendidikan, seolah-olah dunia pendidikan tidak menghasilkan manusia yang berkarakter.
Sama halnya dengan di lingkungan keluarga, di sekolah para siswa juga dikenalkan dengan berbagai nilai dan norma seperti yang ada di masyarakat. Sayangnya kondisi obyektif atau situasi sosial memperlihatkan gejala-gejala penyimpangan seperti korupsi, pungli, perbuatan maksiat, kekerasan penyalahgunaan obat terlarang (narkoba). Justru kondisi seperti ini yang sering menimbulkan keadaan anomi, keadaan bias seolah tanpa nilai dan norma. Bagi orang muda yang baru belajar hal tersebut bisa jadi menimbulkan sikap ambivalent dan ambigous, yaitu tidak jelas nilai yang dianut dan tidak jelas pula bentuk kelakuannya.Contohnya disekolah harus disiplin, datang tidak boleh terlambat, murid tidak boleh merokok, tidak boleh bertambang jorok  da sebagainya tetapi praktek di masyarakat jauh berbeda. Inilah yang relevan antara pendidikan di sekolah dengan hidup di masyarakat. Memang kemudian ada orang yang yang brtingkahlaku konform (menerima nilai) tetapi tidak jarang mereka yang menyimpang atau social deviance.
Masyarakat sering lebih mudah melihat kegagalan dari pada keberhasilan pendidkan, padahal faktanya banyak orang yang berhasil. Jika terjadi tingkah laku menyimpang maka dunia pendidikan dipertanyakan kredibilitasnya dalam membentuk karakter bangsa. Padahal pasti ada faktor-faktor lain yang ikut mempengaruhi proses dan hasil proses pendidikan . Faktor lain ini misalnya pengaruh budaya luar yang gencar masuk lewat media massa atau akses internet yang nanti akan diuraikan pada bagian lain. Apapun tantangannya, sekolah sebagai lembaga penproses dan hasil proses pendidikan . Faktor lain ini misalnya pengaruh budaya luar yang gencar masuk lewat media massa atau akses internet yang nanti akan diuraikan pada bagian lain. Apapun tantangannya, sekolah sebagai lembaga pendidikan formal  mengemban dua misi yaitu misi pendidikan (pedagogis) dan misi pengajaran (edukatif). Dua hal in tidak dapat dipisahkan  dan tidak dapat berat sebelah dalam pelaksanaannya, karena keduanya akan membentuk pribadi (personality) yang utuh, dalam konteks Manusia Indonesia Seutuhnya. Tidak hanya pandai dalam hal ilmu atau intelektual tetapi lebih dari itu ialah memiliki multiple intelligency, berakhlak mulia dan berkarakter.
Walaupun sekolah menjalankan peran ikut membentuk karakter bangsa, harus diingat bahwa sekolah bukan berarti mengambil alih tugas pertama dan utama orang tua dalam mendidik, karena orang tua tidak dapat digantikan oleh siapa saja termasuk oleh Guru. Guru di sekolah hanyalah membentu orang tua. Sekolah sebagai institusi formal pertama-tama diminta oleh orang tua untuk membantu di bidang yang tidak dapat ditangani sendiri oleh orang tua, yaitu bidang pengajaran. Orang tua berharap sekolah dapat memberikan pengajaran kepada anak-anak mereka sehingga mereka kelak siap memasuki dunia sebagai orang dewasa yang berpendidikan sesuai dengan kebutuhan, misalnya untuk memasuki dunia kerja. Konsekuensinya sekolah harus dapat menciptakan mutu pengajaran yang berkualitas, dan anak anak ke sekolah untuk belajar karena mereka butuh. Di sisi lain pembentukan watak tidak boleh diserahkan sepenuhnya oleh orang tua kepada sekolah selaku penyelenggara pendidikan. Orang tua harusnya sadar diri bahwa kemampuan guru terbatas kalau harus mengambil alih semua tugas mendidik, alias orang tua pasrah total  yang penting anaknya baik akhlaknya dan pandai keilmuannya, jika terjadi demikian perlu diluruskan. Sebaliknya bagi sekolah tidak bisa mengatakan yang penting akhlak siswanya baik walaupun pengajarannya kurang bermutu. Bukan demikian yang dimaksud, program sekolah sebaiknya terkoordinasi dengan program orang tua paling tidak ada relevansinya apa yang diprogramkan di sekolah dengan apa yang dilakukan oleh para orang tua; misalnya tentang tata tertib sebaiknya dibuat bersama oleh sekolah dan orang tua atau yang lebih populer adalah komite sekolah.
Dalam Kurikulum 2013 ditekankan tentang pendidikan berkarakter, yakni dengan pengajaran yang berkualitus siswa sebagai subyek didik diberi ruang seluas-luaskan untuk mencari dan menemukan pengetahuan dengan bimbingan Guru hingga mereka mencapai kompetensi sesuai dengan yang ditetapkan atau direncanakan. Produk dari pengajaran harus meliputi tiga ranah yakni ranah pengetahuan, ranah ketrampilan dan sikap. Dengan demikian diharapkan karakter anak akan terbentuk, disamping pendidikan agama atau budi pekerti mendapat forsi lebih dibandingkan pada kurikulum sebelumnya. Ini sekedar gambaran bahwa sekolah berperan serta dalam pembentukan karakter yang disebut dengan pribadi unggul yang akan bermuara ke terbentuknya bangsa yang unggul. Ki Hajar Dewantara melalui sistem pendidikannya yang disebut dengan “Sistem Among”, menegaskan bahwa pendidikan harus dapat memerdekakan diri peserta didik agar kelak menjadi pribadi yang unggul dan berkarakter sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa.
Para pamong (Guru) tidak harus selalu di depan, tetapi jika di depan harus bisa menjadi teladan untuk murid-muridnya dikatakan “Ing ngarsa sung tulodo”; di tengah-tengah dapat membangun semangat dikatakan “ Ing madya mangun karsa” dan dibelakang memberikan pengaruh atau “ Tut wuri handayani”. Semboyan ini cocok juga diterapkan oleh para pemimpin, termasuk Guru adalah pemimpin. Setelah para murid menyelesaikan satu jenjang pedidikan anak diserahkan kembali kepada orang tua dengan harapan mereka sudah mandiri, maka sekolah menempatkan posisinya di belakang dan harapannya tetap memberikan pengaruh positif bagi para alumni yang mungkin akan memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau memasuki dunia kerja.
Ketiga  : Peran masyarakat dan media massa
Di luar keluarga dan sekolah anak-anak berbaur dengan warga masyarakat lain dengan latar belakang yang beranekaragam. Mereka saling berinteraksi langsung maupun tidak langsung. Dalam interaksi terjadi saling mempengaruhi, melepas dan menerima energi baik positif maupun negatif. Energi-energi positif akan berkontribusi positif terhadap perkembangan pribadi, sedangkan energi negatif cenderung merusak. Oleh sebab itu ada sebagian orang tua yang memasukkan anak-anaknya pada lembaga-lembaga pendidikan non formal yang diselenggarakan oleh masyarakat dengan tujuan agar anak sibuk untuk mengurangi pengaruh negagatif dari masyarakat. Para remaja yang sering terlibat perbuatan asosial biasanya mereka yang banyak menganggur.
Masyarakat menawarkan berbagai macam nilai baik yang berasal dari masyarakat sendiri maupun berasal dari masyarakat luar. Penetrasi nilai-nilai budaya luar kadang terlalu kuat sehingga mendesak nilai budaya sendiri, apalagi jika nilai budaya sendiri belum mengakar kuat dalam pribadi seseorang tentu mudah lepas dan tergantikan budaya asing yang belum tentu cocok atau sesuai dengan karakter bangsa yang hendak dibangun. Sebenarnya jika nilai-nilai akhlak telah tertanam kuat dalam keluarga, ini akan mampu menjadi filter untuk memilih dan memilah nilai-nilai dari luar.  Karna jika menutup diri terhadap unsur luar juga akan rugi. Banyak unsur dari luar yang dapat membentuk karakter bangsa, misalnya sikap terbuka terhadap pembaharuan (inovatif), sikap menghargai waktu dan berdisiplin murni.
Penulis berasumsi bahwa media massa juga sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter. Terutama media elektronik yang perkembangannya sudah sangat pesat. Media seperti televisi menyajikan berbagai macam informasi, informasi berbagai kejadian baik di dalam maupun di luar negeri, informasi pengetahuan, motivasi dan inspirasi  serta hiburan. Media sosial lain seperti internet dapat diakses oleh masyarakat dari semua tingkatan usia, kalangan anak, remaja, dewasa sampai orang tua. Media yang semula direncanakan agar hidup manusia semakin mudah dan maju, dapat menjadi bumerang bagi masyarakat salah arah dalam menggunakannya. Seperti orang menciptakan obat untuk menyembuhkan penyakit tetapi jika salah penggunaan dapat menimbulkan sakit bahkan kematian.
Dalam masyarakat yang homogen dan sederhana tata nilai dan norma memang masing melekat erat pada warganya. Mereka belum banyak terpengaruh derasnya arus globalisasi. Namun pada masyarakat perkotaan yang heterogen arus global sungguh terasa dan lambat laun menggerus nilai dan norma yang menjadi pedoman hidup masyarakat. Akibat lebih lanjut terjadi beberapa bentuk adaptasi. Robert K. Merton mengidentifikasikan beberapa pola adaptasi individu yaitu coformity, adalah mengikuti cara-cara yang ditentukan oleh masyarakat; inovation,yaitu perilaku mengikuti tujuan yang ditentukan masyarakat, tetapi memakai cara yang dilarang masyarakat; ritualism, yaitu perilaku individu yang tidak mengikuti tujuan budaya, namun masih tetap berpegang pada cara yang digunakan masyarakat; retreatism, adalah perilaku seseorang yang tidak mau mengikuti  tujuan dan cara yang dikehendaki. Orang tersebut ada di masysyarakat tetapi tidak dianggap  bagian dari masyarakat misalnya pecandu narkoba dan pemabuk; yang terakhir rebellion atau pemberontakan adalah tidak mau mengikuti struktur sosial yang ada tetapi berupaya menciptakan struktur lain seperti demontrasi untuk menggantikan tatanan sosial yang ada (reformasi).
Kesimpulan
Disinyalir banyaknya permasalahan yang sedang dihadapi saat ini seperti demoralitas, tindak kejahatan yang semakin meningkat kuantitas maupun kualitasnya, kasus-kasus yang bersifat amoral, asusila dan asosial, korupsi yang semakin menjadi jadi, perdagangan manusia, kekerasan dalam rumah tangga, depresi dan masih banyak lagi dikarenakan telah gagalnya pendidikan. Untuk membangun karakter bangsa yang sudah terpuruk seperti digambarkan di atas peran pendidikan sangat penting. Kita harus membangun mulai dari dasar, mulai dari pendidikan dalam keluarga karena pendidikan daam keluarga menjadi basis begi dalam membangun karakter bangsa. Keluarga adalah lingkungan pendidikan yang pertama dan utama yang menjadi dasar pendidikan selanjutnya. Orang tua sebagai penanggungjawab pendidikan tidak dibenarkan menyerahkan semua urusan pendidikan kepada sekolah atau para Guru dan alangkah sangat tidak bijaksana jika semua persoalan ditimpakan kepada sekolah yang semestinya hanya membantu orang tua untuk hal-hal yang mereka tidak dapat lakukan. Memang sekolah tidak hanya melakukan kegiatan pengajaran sekolah juga melakukan pendidikan, tetapi perlu diingat bahwa tugas sekolah lebih fokus pada pengajaran, artinya sekolah tidak hanya mencetak manusia yang baik akhlak saja tetapi intelektual tidak unggul. Sebaliknya sekolah harus bisa menyiapkan anak didik agar siap melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi berarti pengajaran harus bermutu tinggi. Disamping keluarga dan sekolah, masyarakat dan media massa juga diharapkan ikut berperan dalam pembentukan karakter bangsa. Tayangan-tangan dalam televisi misalnya hendaknya juga mencerminkan karakter bangsa yang baik. Pendidikan iman yang baik bagi anak-anak, penyadaran yang terus menerus dari para orang tua dan guru serta para tokoh masyarakat menjadi filter dan tameng yang kuat terhadap pengaruh negatif budaya  luar yang berpotensi merusak karakter bangsa.

Senin, 16 Juni 2014

REFLEKSI

Buat seluruh siswa/siswi SMA Xaverius Yang mengenal aku salam perpisahandan selamatbelajar, kalian masih harus berjuang agar suses di SMA Xavepa yang kita cintai sedangkan aku harus berpisah karena terasa sudah capek mengabdi di dunia pendidikan sebagai guru.38 tahun bukan waktu yang singkat dari November 1976 aku meninggalkan kota Yogyakarta dengan naik bus Damri menuju Kota Lubuk Linggau karena dipanggil oleh Yayasan Xaverius Palembang untuk mengajar di sana. Seiring dengan perkembangan jaman dan tuntutan profesi aku memaksa diri harus belajar lagi di kkota kelahiranku yakni Juni 1982 sampai dengan tahun 1986 aku dinyatakan lulus jenjang S1. Tahun 1988 tepatnya tanggal 10 bulan Agustus aku dipanggil untuk menjadi guru di SMA Xaverius dan tanggal mulai tugas dihitung per 1 September 1988.Waktu yang begitu lama sudah akuhabiskan di dunia pendidikan dengan berbagai suka dan duka tetapi lebih banyak sukanya daripada dukanya. Suka karena dapatditerima oleh orang-orang disekitarnya baik sesama guru maupun para siswa.Sedih karena secara material profesi guru waktu itu sampai sekarang secara finansial kurang menjanjikan kesejahteraan hidup.Apalagi setelah dinyatakan pensiun oleh yayasan Xaverius Tanjungkarang, akumasih diperbantukan di sekolah dan sampai saat ini sudah aku jalani satu setengah tahun,rupanya sudah capek mau aku mohon berhenti dan alhandulilah dikabulkan.Untuk kelas XIIPS 1-3 pak Ambros mohon maaf jika ada kesalahan ucapan atau tutur kata, sikap atau perbuatan yang menjadikan kalian tidak suka, tetapi dalam hati kecil ingin membantu agar kalian berhasil dan lihat hasil raport-mu berhasilkan ? selamat ya ! Juga untuk kelas X MIA maupun IIS, maaf Ya ? semoga guru pengganti yang akan datang baik lebih bagus dan perhatian. Akhir kata ku ucapakan selamat berjuang.

Rabu, 04 Juni 2014