erlalu
lama bangsa ini berada dalam cengkeraman penjajah, secara fisik tenaga terkuras
habis dan secara psikologis jiwanya tertekan. Keadaan ini disadari atau tidak
berpengaruh besar terhadap mental, sifat dan sikap seseorang. Sikap mental yang
selalu menunggu perintah, kurang ada inisiatif, kurang disiplin, kurang kreatif
dan pasrah pada nasib. Mereka berpandangan bahwa hidup ini adalah takdir.
Karakter bangsa yang denmikian bertentangan dengan semangat modernisasi untuk menuju masyarakat yang maju,
bermoral dan berdaya saing dengan bangsa-bangsa lain mapan. Inilah perlunya
pembangunan karakter melalui peran serta pendidikan, baik secara informal,
formal maupun non formal, berarti adanya keterlibatan orang tua, guru maupun
masyarakat.
Karakter, tabiat atau watak
berkaitan erat dengan sifat dan sikap seseorang. Heraclitus menyebutnya
karakter adalah takdir, seperti diungkapkan oleh Thomas Paine, karakter adalah apa yang
diketahui oleh Tuhan dan malaekat tentang diri kita. Febe Chen (penulis buku
“Menjadi Pribadi Unggul”) menuliskan bahwa karakter manusia merupakan gabungan
dari kebiasaan-kebiasaan. Apabila usaha yang dilakukan positif dan selalu
berulang, orang itu telah mengembangakan sikap unggul. Keunggulan bisa
diperoleh dari kebiasaan untuk mencapai kesuksesan tertinggi yang mampu diraih.
Dari sudut pandang psikologi karakter seseorang berhubungan dengan temperamen.
Temperamen bersifat bawaan (kodati), sedangkan karakter dipengaruhi oleh sifat
bawaan (instrisik) dan lingkungan(ekstrinsik), oleh sebab itu karakter dapat
dipengaruhi atau dibentuk. Untuk membentuk karakter bangsa yang sangat majemuk
atau multikultural seperti masyarakat Indonesia diperlukan pendekatan secara
holistik. Mencari dan menemukan nilai-nilai nama yang berlaku universal, yang
tidak bertentangan dengan nilai budaya dari masing-masing masyarakat dan
memiliki keunggulan secara nasional, sehingga kita dapat menentukan karakter
bangsa yang seperti apa yang diidamkan atau dianggap ideal dan harus dibangun ?
Para pendiri bangsa ini telah
memikirkan lebih jauh tentang karakter bangsa ini yaitu menjadikan bangsa yang
cerdas, bangsa yang memiliki kepribadian kuat dan beriman serta bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Bangsa yang menjunjungtinggi harkat dan martabat
kemanusiaan, bersatu, gotong royong dan berkeadilan. Bangsa yang arif dan
bijaksana selalu mengedepankan musyawarah untuk mufakat. Bahkan dari sejak dini
di Taman Kanak-kanak atau di Sekolah Dasar anak sudah dikenalkan bahwa sifat
bangsa Indonsia adalah bangsa yang ramah tamah, santun dan tekun beribadah. Di
daerah-daerah diciptakan seni budaya misalnya dalam bentuk tarian khusus untuk
menyambut tamu terhormat. Karakter lain yang harus dimiliki bangsa modern
adalah berdisiplin tinggi yang muncul dari dalam diri seseorang bukan karena
faktor luar, cinta tanah air (nasionalisme), mengedepankan kepentingan bangsa.
Sungguh sangat ironis apa yang
telah dan sedang terjadi dalam masyarakat kita, seolah bangsa ini porak
poranda, dilanda kisis. Krisis moral,
nilai-nilai moral telah tergerus oleh arus jaman, masyarakat hampir kehilangan
arah mana yang benar mana yang salah, mana yang boleh mana yang tidak boleh,
tahu kalau salah langkah tetapi tetap terus berjalan. Korupsi, kriminal, main
hakim sendiri, tawuran antar siswa, premanisme, pembunuhan sadis, penyekapan dan
perdagangan manusia hampir tiap hari menghiasi media massa. Akankah bangsa ini hancur ? Mungkin, jika
tidak lekas diperbaiki. Untuk memperbaiki perlu tindakan tegas. Langkah
preventif juga harus dilakukan, dan yang paling trategis adalah melalui pendidikan
baik pendidikan informal, pendidikan formal maupun pendidikan non formal yang
diselenggarakan masyarakat. Berikut ini penulis ingin mencoba menawarkan solusi
yakni bagaimana peran pendidikan dalam membentuk karakter bangsa terutama dalam
menghadapi arus globalisasi yang sering berdampak negatif jika kurang hati-hati, tetapi menutup
diri dari arus globalisasi dan modernisasi juga akan menghambat perkembangan
dan kemajuan.
Pertama : Peran Pendidikan Keluarga
Pendidikan yang pertama dan utama
ada di dalam keluarga. Pertama, karena anak pertama kali berinteraksi di dalam
keluarga. Mulai mengenal Ibu, Ayah serta anggota keluarga lain dan terus berkembang mengenal lingkungan yang
lebih luas. Berkeluarga merupakan panggilan mulia bagi seorang priya dan seorang
wanita dewasa, mereka sepakat untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan yang
sah. Perkawinan adalah sakral karema melibatkan Allah Sang Maha Pencipta menggunakan
keluarga sebagai sarana penciptaan manusia baru yang harus dirawat, dibesarkan
dan dididik. Lahirnya seorang anak dalam keluarga merupakan anugerah besar dari
Allah dalam ungkapan “anak adalah titipan Allah”. Manusia dapat merencakanan tetapi Tuhan yang
menentukan.
Peran keluarga sangat besar dalam
menjaga tumbuh dan berkembangnya anak baik secara fisik maupun rohani atau mentalitas. Anak
kecil merupakan pribadi yang masih polos tetapi memiliki benih-benih yang
ditaburkan oleh Allah sendiri yang berupa potensi (orang boleh menyebut dengan
talenta) yang akan menjadi “aktus”
jika mendapat kesempatan berkembang. Teori modern menyangkal bahwa anak itu
bagaikan tabula rasa atau kertas putih yang akan menjadi apa terserah yang
menulisi, atau botol kosong yang harus diisi, tetapi anak memiliki benih
potensi yang akan tumbuh dan berkembang dengan bantuan orang dewasa. Disinilah
peran keluarga untuk ikut ambil bagian dalam membentuk karakter. Orang tua
mengenalkan nilai-nilai moral, nilai-nilai agama, nilai adat dan kebiasaan,
sopan santun. Bagaikan tanaman kecil yang tumbuh tidak akan dibiarkan liar oleh
pemiliknya, begitu juga anak-anak harus mendapat tuntunan yang benar dari orang
tunya. Para orang tua diharapkan dapat menjadi contoh tauladan yang baik bagi
anak-anaknya, karena yang pasti anak akan mulai belajar dengan meniru dan tidak
jarang anak mengidolakan tingkah laku orang tuanya. Sering keahlian atau
pepintaran orang tuanya menurun pada anak-anaknya, ini bukan berarti turunan
secara biologis saja seperti yang pernah dipelajari oleh Mendel tetapi juga
turunan secara sosiologis. Misalnya setiap kali anak melihat orang tuanya
bersalaman, menghormati orang lain, berkata jujur maka anak akan meniru tanpa
disuruh. Dengan demikian sebenarnya karakter anak telah terbentuk. Dengan
demikian keluarga menjadi dasar utama dan pertama pembentukan karakter anak
yang kelak akan berkembang menjadi pribadi unggul jika mendapatkan pengaruh
positif dari lingkungannya yang baru dan lebih luas yakni di lingkungan
pendidikan formal dan masyarakat.
Tanggung jawab pendidikan oleh
orang tua tidak dapat digantikan peranya oleh siapapun. Yang terjadi karena
orang tua sibuk bekerja sering pengasuhan dan pendidikan diserahkan kepada
orang lain misalnya Baby Sister atau pembantu rumah tangga. Orang tua jarang
bertemu anak-anak karena berangkat pagi sebelum anak-anak bangun dan pulang
malam setelah anak-anak tidur. Dan anak lebih mengenal pembantu dari pada orang
tuanya. Jika ini berlangsung lama maka pendidikan pasti kurang diperhatikan
oleh pembantu akibatnya karakter anak tidak terbangun dengan baik, ini sering
diketahui oleh Guru kelas setelah anak-anak masuk di sekolah. Pola dan cara
mendidik oleh orang tua sangat berpengaruh terhadap sikap dan watak anak,
misalnya orang tua yang mendidik dengan cara-cara kekerasan, suka menghukum,
atau marah-marah terus dengan kata-kata kasar, anak akan terbiasa kasar dan
nakal terhadap temannya. Orang tua tidak sadar bahwa ketika ketika berlaku
kasar terhadap anaknya sebenarnya ia sedang membentuk karakter kasar kepada
anaknya. Jika orang tua suka berbohong, anak juga sedang belajar berbohong.
Dari sebuah riset dikatakan bahwa anak-anak nakal kebanyakan berasal dari
keluarga yang tidak utuh, mungkin keluarga tidak harmonisi , orang tuanya
bercerai atau broken home. Dari keluarga-keluarga yang dibangun atas dasar
cinta kasih, dan mereka membina keharmonisan hubungan ini terus menerus akan
menghasilkan pribadi-pribadi yang berkarakter. Pribadi yang berkarakter
memiliki dorongan dari dalam dirinya sendiri untuk selalu mencari dan menemukan
masa depannya sendiri, prinsip hidupnya sendiri dan akan meraih sukses.
Pribadi-pribadi yang sukses mereka mampu melayani tanpa pamrih, lihat saja para
pejuang kemanusiaan seperti Bunda Theresa dari Calkuta yang bekerja melayani
orang-orang tersingkir, Jendral Sudirman berjuang untuk kemerdekaan sampai
akhir hayatnya. Prinsip bekerja keras, belajar terus menerus sepanjang hayat,
mandiri tidak menggantungkan pada orang lain , menghargai karya, berorientasi
ke masa depan adalah beberapa contoh karakter yang lahir dan berkembang dalam
lingkungan keluarga. Melalui cerita-cerita pendek dari sang Ibu sambil
menidurkan anaknya, akan diingat sepanjang masa oleh anak dan memotivasi untuk
berbuat seperti yang diperbuat oleh tokoh dalam cerita tersebut. Keluarga
berdoa sebelum makan, bapak atau ibu berpamitan jika akan pergi, berterimakasih ketika mendapat sesuatu dari
orang lain, peduli antar anggota keluarga semua ini merupakan perbuatan praktis
untuk membentuk karakter dalam lingkup keluarga. Jika semua keluarga melakukan
hal demikian maka karakter bangsa akan terbentuk, karena sel-sel terkecil dari
bangsa ini adalah keluarga.
Kedua : Peran Pendidikan Formal.
Hampir seluruh perkembangan masa
anak-anak, remaja dan dewasa awal (akil
balig) bagi seseorang dihabiskan di sekolah. Katakan saja mulai anak usia empat
tahun sampai dengan 23 tahun mereka belajar di sekolah. Di kota-kota besar
mereka mulai memasukkan anak-anak ke play group yang dikelola layaknya
penidikan formal untuk anak-anak pada usia dini. Memasukkan anak-anak dalam
kelompok bermain memiliki nilai tambah bagi anak untuk belajar bersosialisasi
sambil menyiapkan anak untuk masuk ke jenjang pendidikan dasar, namun tidak
dipungkiri tidak sedikit orang tua justru membebani anak-anak usia dini ini
dengan belajar menulis, membaca bahkan berhitung. Mereka bangga anak-anaknya
sudah “pandai” sebelum masuk Sekolah Dasar, asal selalu ingat bahwa pada
usia-usia tiga sampai 4 tahun adalah usia masa peka, pada saat inilah orang tua
ataupengasuh paud harus tahu apa yang harusnya diperbuat agar karakter anak
mulai terbentuk. Dalam Psikologi perkembangan anak dikatakan bahwa pada masa
peka kemampuan otak untuk merekan rangsangan dari luar (faktor eksternal)
sangat baik, rekaman-rekaman dalam otak akan membekas kuat dan bertahan lama
sampai mereka dewasa kelak.
Aliran naturalis berpendapat
bahwa pada dasarnya manusia dilahirkan dengan karakter yang baik, seperti Tuhan
Allah menciptakan alam semeste semuanya baik adanya. Potensi yang baik ini
tidak bertumbuh bahkan menjadi rusak karena lingkungan. JJ. Rouseau seorang
yang menganut faham empirisme berpen
berpendapat berikan kenbebasan kepada anak secara alami, pengalaman anak akan
menjadi guru yang baik. Agak bersebrangan dengan teori tabula rasa dari John
Lock bahwa mau dijadikan hitam atau mau dijadikan putih anak-anak kelak terserah
kepada orang tua atau guru. Para pendidik modrn lebih suka memadukan antara
bakat dan lingkungan yang dikenal dengan teori konvergensi. Bakat pembawaan
anak dapat berkembang maksimal jika diberikan lingkungan yang baik termasuk
memberikan rangsangan yang baik agar respons anak baik, seperti percobaan Ivan
Vavlop dari Rusia yang kemudian melahirkan teori belajar Stimulus-Respons.
Terlepas dari teori apa yang
dikembangkan di sekolah, tugas sekolah sebagai institusi pendidikan adalah
membantu orang tua, karena tidak semua peran dapat dilakukan sendiri oleh orang
tua sebagai pedidik utama. Tentang banyaknya beria miring di masyarakat yang
memojokkan dunia pendidikan karena ternyata terjadi banyak tindak korupsi yang
dilakukan oleh oknum-oknum terdidik, kasus kriminal yang pelakunya adalah
mahasiswa (alias orang terdidik), bahkan ada anak-anak yang masih duduk di
bangku SD dan SMP sudah melakukan pemerkosaan, sungguh mencoreng institusi
pendidikan, seolah-olah dunia pendidikan tidak menghasilkan manusia yang
berkarakter.
Sama halnya dengan di lingkungan
keluarga, di sekolah para siswa juga dikenalkan dengan berbagai nilai dan norma
seperti yang ada di masyarakat. Sayangnya kondisi obyektif atau situasi sosial
memperlihatkan gejala-gejala penyimpangan seperti korupsi, pungli, perbuatan
maksiat, kekerasan penyalahgunaan obat terlarang (narkoba). Justru kondisi
seperti ini yang sering menimbulkan keadaan anomi, keadaan bias seolah tanpa
nilai dan norma. Bagi orang muda yang baru belajar hal tersebut bisa jadi
menimbulkan sikap ambivalent dan ambigous, yaitu tidak jelas nilai yang dianut
dan tidak jelas pula bentuk kelakuannya.Contohnya disekolah harus disiplin,
datang tidak boleh terlambat, murid tidak boleh merokok, tidak boleh bertambang
jorok da sebagainya tetapi praktek di
masyarakat jauh berbeda. Inilah yang relevan antara pendidikan di sekolah
dengan hidup di masyarakat. Memang kemudian ada orang yang yang brtingkahlaku
konform (menerima nilai) tetapi tidak jarang mereka yang menyimpang atau social deviance.
Masyarakat sering lebih mudah
melihat kegagalan dari pada keberhasilan pendidkan, padahal faktanya banyak
orang yang berhasil. Jika terjadi tingkah laku menyimpang maka dunia pendidikan
dipertanyakan kredibilitasnya dalam membentuk karakter bangsa. Padahal pasti
ada faktor-faktor lain yang ikut mempengaruhi proses dan hasil proses
pendidikan . Faktor lain ini misalnya pengaruh budaya luar yang gencar masuk
lewat media massa atau akses internet yang nanti akan diuraikan pada bagian lain.
Apapun tantangannya, sekolah sebagai lembaga penproses dan hasil proses
pendidikan . Faktor lain ini misalnya pengaruh budaya luar yang gencar masuk
lewat media massa atau akses internet yang nanti akan diuraikan pada bagian
lain. Apapun tantangannya, sekolah sebagai lembaga pendidikan formal mengemban dua misi yaitu misi pendidikan
(pedagogis) dan misi pengajaran (edukatif). Dua hal in tidak dapat
dipisahkan dan tidak dapat berat sebelah
dalam pelaksanaannya, karena keduanya akan membentuk pribadi (personality) yang utuh, dalam konteks
Manusia Indonesia Seutuhnya. Tidak hanya pandai dalam hal ilmu atau intelektual
tetapi lebih dari itu ialah memiliki multiple
intelligency, berakhlak mulia dan berkarakter.
Walaupun sekolah menjalankan
peran ikut membentuk karakter bangsa, harus diingat bahwa sekolah bukan berarti
mengambil alih tugas pertama dan utama orang tua dalam mendidik, karena orang
tua tidak dapat digantikan oleh siapa saja termasuk oleh Guru. Guru di sekolah
hanyalah membentu orang tua. Sekolah sebagai institusi formal pertama-tama
diminta oleh orang tua untuk membantu di bidang yang tidak dapat ditangani
sendiri oleh orang tua, yaitu bidang pengajaran. Orang tua berharap sekolah
dapat memberikan pengajaran kepada anak-anak mereka sehingga mereka kelak siap
memasuki dunia sebagai orang dewasa yang berpendidikan sesuai dengan kebutuhan,
misalnya untuk memasuki dunia kerja. Konsekuensinya sekolah harus dapat
menciptakan mutu pengajaran yang berkualitas, dan anak anak ke sekolah untuk
belajar karena mereka butuh. Di sisi lain pembentukan watak tidak boleh
diserahkan sepenuhnya oleh orang tua kepada sekolah selaku penyelenggara
pendidikan. Orang tua harusnya sadar diri bahwa kemampuan guru terbatas kalau
harus mengambil alih semua tugas mendidik, alias orang tua pasrah total yang penting anaknya baik akhlaknya dan
pandai keilmuannya, jika terjadi demikian perlu diluruskan. Sebaliknya bagi
sekolah tidak bisa mengatakan yang penting akhlak siswanya baik walaupun
pengajarannya kurang bermutu. Bukan demikian yang dimaksud, program sekolah
sebaiknya terkoordinasi dengan program orang tua paling tidak ada relevansinya
apa yang diprogramkan di sekolah dengan apa yang dilakukan oleh para orang tua;
misalnya tentang tata tertib sebaiknya dibuat bersama oleh sekolah dan orang
tua atau yang lebih populer adalah komite sekolah.
Dalam Kurikulum 2013 ditekankan
tentang pendidikan berkarakter, yakni dengan pengajaran yang berkualitus siswa
sebagai subyek didik diberi ruang seluas-luaskan untuk mencari dan menemukan
pengetahuan dengan bimbingan Guru hingga mereka mencapai kompetensi sesuai
dengan yang ditetapkan atau direncanakan. Produk dari pengajaran harus meliputi
tiga ranah yakni ranah pengetahuan, ranah ketrampilan dan sikap. Dengan
demikian diharapkan karakter anak akan terbentuk, disamping pendidikan agama
atau budi pekerti mendapat forsi lebih dibandingkan pada kurikulum sebelumnya.
Ini sekedar gambaran bahwa sekolah berperan serta dalam pembentukan karakter
yang disebut dengan pribadi unggul yang akan bermuara ke terbentuknya bangsa
yang unggul. Ki Hajar Dewantara melalui sistem pendidikannya yang disebut
dengan “Sistem Among”, menegaskan bahwa pendidikan harus dapat memerdekakan
diri peserta didik agar kelak menjadi pribadi yang unggul dan berkarakter
sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa.
Para pamong (Guru) tidak harus
selalu di depan, tetapi jika di depan harus bisa menjadi teladan untuk
murid-muridnya dikatakan “Ing ngarsa sung
tulodo”; di tengah-tengah dapat membangun semangat dikatakan “ Ing madya mangun karsa” dan dibelakang memberikan pengaruh atau “ Tut wuri handayani”. Semboyan ini cocok
juga diterapkan oleh para pemimpin, termasuk Guru adalah pemimpin. Setelah para
murid menyelesaikan satu jenjang pedidikan anak diserahkan kembali kepada orang
tua dengan harapan mereka sudah mandiri, maka sekolah menempatkan posisinya di
belakang dan harapannya tetap memberikan pengaruh positif bagi para alumni yang
mungkin akan memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau memasuki dunia
kerja.
Ketiga : Peran masyarakat dan media massa
Di luar keluarga dan sekolah
anak-anak berbaur dengan warga masyarakat lain dengan latar belakang yang
beranekaragam. Mereka saling berinteraksi langsung maupun tidak langsung. Dalam
interaksi terjadi saling mempengaruhi, melepas dan menerima energi baik positif
maupun negatif. Energi-energi positif akan berkontribusi positif terhadap
perkembangan pribadi, sedangkan energi negatif cenderung merusak. Oleh sebab
itu ada sebagian orang tua yang memasukkan anak-anaknya pada lembaga-lembaga
pendidikan non formal yang diselenggarakan oleh masyarakat dengan tujuan agar
anak sibuk untuk mengurangi pengaruh negagatif dari masyarakat. Para remaja
yang sering terlibat perbuatan asosial biasanya mereka yang banyak menganggur.
Masyarakat menawarkan berbagai
macam nilai baik yang berasal dari masyarakat sendiri maupun berasal dari
masyarakat luar. Penetrasi nilai-nilai budaya luar kadang terlalu kuat sehingga
mendesak nilai budaya sendiri, apalagi jika nilai budaya sendiri belum mengakar
kuat dalam pribadi seseorang tentu mudah lepas dan tergantikan budaya asing
yang belum tentu cocok atau sesuai dengan karakter bangsa yang hendak dibangun.
Sebenarnya jika nilai-nilai akhlak telah tertanam kuat dalam keluarga, ini akan
mampu menjadi filter untuk memilih dan memilah nilai-nilai dari luar. Karna jika menutup diri terhadap unsur luar
juga akan rugi. Banyak unsur dari luar yang dapat membentuk karakter bangsa,
misalnya sikap terbuka terhadap pembaharuan (inovatif), sikap menghargai waktu
dan berdisiplin murni.
Penulis berasumsi bahwa media
massa juga sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter. Terutama media
elektronik yang perkembangannya sudah sangat pesat. Media seperti televisi
menyajikan berbagai macam informasi, informasi berbagai kejadian baik di dalam
maupun di luar negeri, informasi pengetahuan, motivasi dan inspirasi serta hiburan. Media sosial lain seperti
internet dapat diakses oleh masyarakat dari semua tingkatan usia, kalangan
anak, remaja, dewasa sampai orang tua. Media yang semula direncanakan agar
hidup manusia semakin mudah dan maju, dapat menjadi bumerang bagi masyarakat
salah arah dalam menggunakannya. Seperti orang menciptakan obat untuk
menyembuhkan penyakit tetapi jika salah penggunaan dapat menimbulkan sakit
bahkan kematian.
Dalam masyarakat yang homogen dan
sederhana tata nilai dan norma memang masing melekat erat pada warganya. Mereka
belum banyak terpengaruh derasnya arus globalisasi. Namun pada masyarakat
perkotaan yang heterogen arus global sungguh terasa dan lambat laun menggerus
nilai dan norma yang menjadi pedoman hidup masyarakat. Akibat lebih lanjut
terjadi beberapa bentuk adaptasi. Robert K. Merton mengidentifikasikan beberapa
pola adaptasi individu yaitu coformity,
adalah mengikuti cara-cara yang ditentukan oleh masyarakat; inovation,yaitu perilaku mengikuti
tujuan yang ditentukan masyarakat, tetapi memakai cara yang dilarang masyarakat;
ritualism, yaitu perilaku individu
yang tidak mengikuti tujuan budaya, namun masih tetap berpegang pada cara yang
digunakan masyarakat; retreatism,
adalah perilaku seseorang yang tidak mau mengikuti tujuan dan cara yang dikehendaki. Orang
tersebut ada di masysyarakat tetapi tidak dianggap bagian dari masyarakat misalnya pecandu
narkoba dan pemabuk; yang terakhir rebellion
atau pemberontakan adalah tidak mau mengikuti struktur sosial yang ada tetapi
berupaya menciptakan struktur lain seperti demontrasi untuk menggantikan
tatanan sosial yang ada (reformasi).
Kesimpulan
Disinyalir banyaknya permasalahan yang sedang dihadapi saat
ini seperti demoralitas, tindak kejahatan yang semakin meningkat kuantitas
maupun kualitasnya, kasus-kasus yang bersifat amoral, asusila dan asosial,
korupsi yang semakin menjadi jadi, perdagangan manusia, kekerasan dalam rumah
tangga, depresi dan masih banyak lagi dikarenakan telah gagalnya pendidikan.
Untuk membangun karakter bangsa yang sudah terpuruk seperti digambarkan di atas
peran pendidikan sangat penting. Kita harus membangun mulai dari dasar, mulai
dari pendidikan dalam keluarga karena pendidikan daam keluarga menjadi basis
begi dalam membangun karakter bangsa. Keluarga adalah lingkungan pendidikan
yang pertama dan utama yang menjadi dasar pendidikan selanjutnya. Orang tua
sebagai penanggungjawab pendidikan tidak dibenarkan menyerahkan semua urusan
pendidikan kepada sekolah atau para Guru dan alangkah sangat tidak bijaksana
jika semua persoalan ditimpakan kepada sekolah yang semestinya hanya membantu
orang tua untuk hal-hal yang mereka tidak dapat lakukan. Memang sekolah tidak
hanya melakukan kegiatan pengajaran sekolah juga melakukan pendidikan, tetapi
perlu diingat bahwa tugas sekolah lebih fokus pada pengajaran, artinya sekolah
tidak hanya mencetak manusia yang baik akhlak saja tetapi intelektual tidak
unggul. Sebaliknya sekolah harus bisa menyiapkan anak didik agar siap
melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi berarti pengajaran harus bermutu
tinggi. Disamping keluarga dan sekolah, masyarakat dan media massa juga
diharapkan ikut berperan dalam pembentukan karakter bangsa. Tayangan-tangan
dalam televisi misalnya hendaknya juga mencerminkan karakter bangsa yang baik.
Pendidikan iman yang baik bagi anak-anak, penyadaran yang terus menerus dari
para orang tua dan guru serta para tokoh masyarakat menjadi filter dan tameng
yang kuat terhadap pengaruh negatif budaya
luar yang berpotensi merusak karakter bangsa.